“HIDUP PERLU HARAPAN KARENA TANPANYA KITA TAK AKAN HIDUP”
Tak seperti pada anak – anak belia umumnya, mereka belum memiliki hal spesial tentang tahun baru, mereka anak belia di luar sana hanya tahu tentang hingar bingar perayaan tahun baru, mereka tak mengerti jika bumi ini semakin tua saat tahun bertambah satu angka.
Jelita tak mengerti apa salah dan dosa dirinya, kenapa ia tak memiliki keluarga seperti teman – temannya. Namun ia selalu ingat pesan neneknya, jika ia adalah anak paling beruntung di dunia, Allah istimewakan Jelita dengan paras cantik rupawan, berkulit putih bersih dengan alis tebal dan hidung mancung seperti keturunan arab. Sejak lahir begitu banyak orang yang menyukainya dan menyayanginya, semua berebut ingin menggendong dan menciumnya. Jelita bak puteri raja yang di elu – elukan orang banyak. Meskipun ia terlahir dari ayah dan ibu sederhana.
Jelita tumbuh menjadi gadis belia yang anggun dan soleha, ia kini tinggal bersama nenek dari ibunya. Sejak ibunda Jelita meninggal karena depresi Jelita dirawat oleh sang nenek dari usia empat tahun. Sedangkan ayah Jelita menyusul ibunda tercinta meninggalkan Jelita selamanya pada saat Jelita berusia lima tahun.
Saat meninggal, ayah Jelita tak meninggalkan apa – apa kecuali satu, sesuatu yang di mana seluruh orang di dunia tidak akan mau mendapatkannya walaupun hanya di dalam mimpi.
“Nek, kenapa Allah kasih Jelita penyakit ini ya nek? Kata nenek Allah sayang sama Jelita? Kok Allah kasih Jelita penyakit. Dan membuat semua orang yang sayang Jelita menjauh?”
“Sayang..., kasih sayang Allah kepada manusia itu, berbeda dengan sayangnya manusia kepada manusia. Allah itu Maha tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang paling baik bagi para hambaNya.”
“Kok sakit baik nek?”
“Begini ndo..., Gusti Allah itu sayang sama Jelita, tidak mau jika Jelita sampai diganggu orang, disakiti atau bahkan ada yang bawa Jelita dari nenek, karena jika Jelita tidak sakit, pasti banyak orang yang mau deket dan manfaatkan Jelita. Jelita ingat nda? Waktu orang – orang belum tahu Jelita sakit, ada orang yang mau culit Jelita dari nenek.”
“Iya nek. Tapi kenapa Allah jagain Jelitanya pakai penyakit?”
“Iya ndo..., kita manusia kadang nda ngerti apa rencana Gusti Allah buat kita, yang sabar ya ndo...!”
Nenek memeluk Jelita dengan berurai air mata. Ia tak kuat membendung air matanya yang ingin segera tumpah. Rasa perih, sakit dan sesak di dada menumpuk tanpa bisa dibagikan kepada orang lain. Nenek Minah hanya bisa memohon Gusti Allah bisa panjangkan usianya agar ia bisa merawat cucu sematawayangnya dari anak dan menantu sematawayangnya yang kini telah tiada. Nenek selalu sedih ta kala memandang wajah cucunya dengan mata bulat berhiaskan lentik bulu matanya.
Anaknya, ibunda Jelita bernama Wati itu meninggal ksrena depresi berat setelah mengetahui jika suaminya bekerja sebagai psk laki – laki, ia dipelihara oleh seorang laki – laki tua keturunan Inggris. Lelaki inggris itu menyukai sesama jenis, yang kemudian diketahui jika suaminya itu telah terjangkit HIV, ayah Jelita adalah pria tampan yang bisa menggoda para gay karena ketampanannya dan ketampanannya itu menurun pada Jelita yang cantik.
Setahun setelah ibunda Jelita meninggal, meninggal pula ayah Jelita yang tampan itu. Dan kini Jelita hidup hanya berdua dengan sang nenek. Saudara dari nenek Jelita tak ada yang mau mendekat. Karena mereka takut tertular HIV dari Jelita.
Tahun Baru Harapan
Meski seakan hidup Jelita tanpa harapan lagi, namun nenek selalu menasehati Jelita jika kita jangan pernah berhenti berharap karena berhenti berharap itu sama dengan putus asa dari Rahmat Allah SWT. Cobaan yang menempa Jelita menjadikan usia sepuluh tahun Jelita.
Dan setiap malam tahun baru, Jelita tak pernah berhenti berharap akan adanya keajaiban dari Allah SWT. Ia selalu berdoa agar bisa hidup tanpa menyusahkan neneknya lagi.
*Pagi di tahun baru.
Ada seorang perempuan muda berjilbab yang baik hati, ia mau datang betkunjung kerumah nenek Jelita , ia seakan tak perduli ketika keluarganya dan para tetangga melarang agar tak mengunjungi nenek dan Jelita. “Nanti bisa ketularan” ucap mereka sengit.
Tapi Ratih yakin, sebagai seorang perawat ia tahu jika HIV tak kan menular hanya dengan mengobrol, namun sulit bagi Ratih meyakinkan keluarga dan lingkungan agar mereka berfikir sama dengannya.
“Terima kasih ya nak Ratih atas perhatiannya pada kami. “ ucap nenek terharu saat melihat banyaknya pemberian Ratih.
“Nek, boleh tahu, sejak kapan nenek tahu jika Jelita terkena HIV?”
“Sejak tahu, jika ayah Jelita terkena penyakit itu.”
“Jadi, selama ini Jelita belum diperiksa nek?”
“Belum, memang periksa untuk apa?”
“Ya..., untuk memastikan apakah Jelita positif HIV atau tidak?”
“Belum nak”
“MasyaAllah.... Nek! Saya akan bawa Jelita ke RSUD ya nek?”
“Iiii...iya nak”
Sungguh nenek masih tak mengerti, namun ia berharap akan ada keajaiban.
Binar bahagia Jelita.
“Nek, aku nda sakit nek! Aku sehat nek..., aku bisa jagain nenek sekarang!” Jelita menghambur memeluk nenek.
Nenek masih bingung, meski Jelita sudah memberinya secarik kertas hasil pemeriksaan. Seakan mengerti kebingungan nenek Ratih menjelaskan seringan mungkin pada nenek.
“Nek, jika saat Jelita lahir orang tuanya sehat, maka Jelita insyaAllah sehat, dan HIV itu hanya menular melalui hubungan suami isteri, suntikan bekas orang HIV, darah. Tapi tidak hanya dengan mengobrol. Dan bukannya Jelita dan ayahnya tidak bertemu dalam beberapa tahun sampai akhirnya ayah Jelita meninggal di Jakarta. Dan tidak ketemu Jelita.”
“Jadi, Jelita nda sakit nak Ratih?”
“Menurut hasil lab iya nek. Alhamdulillah negatif. “
Nenek pun langsung sujud syukur di ikuti Jelita.

Komentar
Posting Komentar