BAB 1
1 HP 3 Anak
"Ma…mama….?" Arya berlari masuk ke dalam rumah dengan tergopoh-gopoh.
"Mama di dapur Ya," sahut Nilam sambil terus menggoreng ikan tongkol Cue yang akan dijadikan tongkol Cue balado.
Saat sudah sampai di hadapan sang mama, Arya tampak terengah-engah. Ia berlari mulai dari sekolah.
Selesai menggoreng Nilam memperhatikan putra ketiganya itu.
"Kok gak ucapin salam?"
"Eh, lupa Ma. Assalamualaikum? Mama, aku ada berita penting dari sekolah."
"Apa? Akan ada libur mendadak?"
Arya menggeleng.
"Kepala sekolah ganti?"
"Bukan Ma,"
"Terus apa dong?"
"Mulai Senin besok, sekolah aku lock down."
"Apa? Lauk daun?" Nilam yang baru mengenal kata itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Iih, bukan Mama…, tapi lock down," Arya mengeja kata lock down dengan gemas.
"Apa itu nak?"
"Itu loh, semua anak gak boleh sekolah lagi."
"Hah! Gak boleh sekolah? Kenapa?"
"Karena Corona, Ma."
"Ooh…, sampai kapan Nak?"
Arya menggeleng "Mungkin sampe Corona pulang kampung, Ma."
"Ya ampuun, coba kita bisa ajak si Corona pulang. Pasti Negera kita bisa bebas dari serangannya dan kamu bisa terus sekolah."
"Iih Mama, serangan. Emang perang Ma,"
"Sama aja Nak, kita memang sedang berperang melawan Corona sekarang."
"Aduuh…, terus sekolahmu gimana dong?"
Arya mengangkat kedua bahunya dan tangannya.
"Ya sudah, ganti baju sana! Bersih-bersih shalat terus makan."
"Baik Ma."
***
Dan lock down pun terjadi, Nilam yang memiliki tiga anak dengan beda usia kini harus memulai harinya dengan lebih sibuk dari biasanya yang hanya mengurusi dapur untuk mempersiapkan sarapan sekeluarga.
Hari ini jadwal pertama ketiga anaknya sekolah secara daring atau online dengan menggunakan aplikasi zoom. Nilam sampai harus menanyai ke beberapa tetangga untuk dapat tahu dan mendownload aplikasi tersebut.
Maklum saja, Nilam tinggal di rumah bekas peninggalan neneknya, yang sudah tentu di komplek itu lebih banyak orang tua daripada orang mudanya. Setelah rumah ke sepuluh, Nilam berhasil menemukan pasangan muda yang baru menikah dan belum memiliki anak. Untungnya mereka cukup up to date untuk hal digital seperti itu.
"Ma, kita kan, bertiga? Kok hapenya satu?"
Toweww, ya ampun belum apa-apa rasanya Nilam mau pingsan. Ini gimana caranya hp satu buat anak tiga.
"Pake laptop bisa juga Ma kata teman aku."
"Oh ya? Caranya gimana?" Andi, anak sulung Nilam menggaruk kepalanya. Karena ia sendiri belum tahu gimana caranya.
"Gak tahu, Ma."
"Ish…, kamu gimana toh?"
"Aduh, gimana dong ini?" Nilam mondar-mandir, kepalanya terasa cenat-cenut.
"Kenapa Ma?" Ardi suami Nilam keluar kamar, sudah rapi dan siap berangkat.
Melihat sang suami keluar kamar sambil memegang hapenya, Nilam menyeringai karena tiba-tiba terlintas sebuah ide di kepalanya.
Ardi mengerutkan kening melihat ekspresi istrinya.
"Pa, aku pinjam hapemu ya?" Tangan Nilam mengenadah.
Ardi memeluk hapenya dan mundur seperti orang ketakutan, tentu ini ekspresi bercandaan. "Buat apa?"
"Itu anaknya mau sekolah online, hapenya cuma satu, anak kita tiga,"
Ardi mengerutkan keningnya. "Kalau pake hapeku, masih kurang satu juga, terus gimana?"
"Kata Andi, temannya bilang bisa pake laptop. Jadi Andi pakai laptop, Anto dan Arya pake hape Mama dan Papa,"
Ardi menggaruk kepalanya. "Terus, aku ke kantor gak bawa hape gitu?"
"Terus gimana dong? Masa kudu beli hape baru?"
Ardi menghela napas, ia pun mengalah demi anaknya bisa sekolah daring karena untuk beli hape baru ia tidak punya uang karena belum waktunya gajian.
***
"Mama…., Aku kok belum dipanggil-panggil sih, huhuhu…." Rengek Arya, siswa kelas tiga SD di sekolah dasar negeri 14.
"Sabar ya sayang, teman Arya sekelas kan banyak ada empat puluhan, nanti juga dipanggil."
"Gak Ma, udah selesai zoomannya, Bu guru sudah kasih tugas, tinggal mengerjakan, besok ditampilkan pas online."
"Ya sudah-sudah, tinggal kamu kerjakan saja tugasnya, oke?" Arya mengangguk setuju.
"Masa, sini dong! Aku gak ngerti ini." Teriak Anto putra kedua dari dalam kamarnya, kini ia sedang mengerjakan tugas dari gurunya. Anto siswa kelas dua SMP swasta Tunas Jaya. Kenapa swasta, karena SMP negeri lumayan jauh dari rumah.
Nilam datang tergopoh-gopoh ke kamar anaknya.
"Kenapa sayang?"
"Ini lho…, cara mengerjakannya gimana? Aku gak ngerti." Anto menunjukkan soal matematika di buku paketnya pada sang mama.
Mata Nilam membelalak melihat angka-angka yang tampak rumit itu.
'Ya ampuun, gimana ini? Sejak jaman sekolah aku gak pandai matematika.' batin Nilam.
"Ehm…, begitu ya? Ngomong-ngomong, kamu ada tugas lain?"
"Ada Ma, bahasa Indonesia."
"Ya sudah, kamu kerjain itu dulu. Nanti Mama cari tahu cara mengerjakan soal-soal matematika itu." Ucap Nilam mencari alasan agar bisa tanya sesiapa dulu.
"Iya Ma."
"Kak, bisa kerjain ini gak? Caranya gimana?" Tanya Nilam dengan suara pelan pada putra sulungnya itu.
Kening Andi berkerut ketika melihat buku paket matematika milik adiknya.
"Bisa sih Ma, tapi aku masih tanya jawab online,"
"Oh, ya sudah. Maaf ganggu ya Nak."
Nilam pergi dan masuk menemani Arya. Tapi otaknya terus berpikir, kemana dia harus bertanya tentang soal ini. Mau menghubungi suaminya, tetapi Ardi tidak bawa hape karena dipake Anto.
Saat mondar-mandir, Nilam melihat ke arah jam dinding di rumahnya.
"Jam sebelas??? Ya ampuun, aku belum masak? Aduh…."
"Arya, Mama, masak dulu ya."
"Iya Ma."
***
Di tengah-tengah kesibukannya memasak sebuah panggilan sang anak membuat Nilam membelalak karena teringat tugas matematika Anto yang belum ia selesaikan. Jantungnya berdegup kencang, keningnya berkeringat.
'Gimana mau jelasin caranya kalau aku gak ngerti.' batin Nilam sambil menggoyang kaki seperti orang menjahit.
#cerbung. #pandemi
Komentar
Posting Komentar